Oleh: YUSWARDI ALI SUUD
-----------------------------------------------
PAGAR kawat baja itu berpilin-pilin mengelilingi areal ladang gas. Di beberapa sudut tertancap peringatan bertulisan,”Dilarang masuk ke dalam area Cluster-IV tanpa izin dari control room.”
Di dalamnya pipa-pipa ukuran besar melintang terhubung ke instalasi, menyedot gas alam yang menyembur dari lapisan tanah. Di pintu masuk yang juga terbuat dari kawat baja, ada sebuah pos Satpam. Di seberang jalan, beberapa puluh meter dari pintu gerbang, berdiri sebuah pos polisi. Di bagian dindingnya ada tulisan “Sabhara Polda Aceh.” Dua lelaki muda duduk di pos, mengamati orang yang lalu lalang. Mereka bertugas mengamankan proyek vital.
Itulah Cluster IV, salah satu dari empat blok sumur gas yang dikelola ExxonMobil di kawasan itu. Lapangan gas itu berjarak sekitar 30 kilometer arah tenggara Kota Lhokseumawe. Dari jalan lintas Banda Aceh – Medan, jaraknya sekitar 18 kilometer arah selatan. Cluster IV adalah satu-satunya areal pengoboran milik Exxon yang masih berproduksi penuh. Sementara tiga cluster lainnya hanya menyedot sisa-sisa gas.
“Dulunya tempat ini hutan dan rawa. Sampai kemudian ditemukan kandungan gas oleh tim survei dari Mobil Oil,” Bukhari, seorang lelaki yang temui di sebuah warung kopi sederhana berdinding papan yang terletak bersisian dengan ladang gas itu.
Terletak di Desa Meuria, Kecamatan Matangkuli, Cluster IV adalah salah satu dari empat blok ladang gas yang membentang sepanjang 18 kilometer di empat kecamatan di Aceh Utara: Syamtalira Aron, Nibong, Tanah Luas, dan Matangkuli.
Pemukiman terakhir setelah Cluster IV adalah Kecamatan Paya Bakong. Selebihnya adalah kawasan perbukitan yang berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah.
Pertengahan September lalu, menggunakan sepeda motor saya menyusuri jalan line pipa yang menghubungkan ke empat cluster itu. Yang terdekat dengan jalan raya Banda Aceh – Medan adalah Cluster I yang terletak di Desa Aron, Kecamatan Syamtalira Aron.
Tempat ini tak asing lagi bagi saya yang terlahir di Simpang Mulieng, ibukota Kecamatan Syamtalira Aron. Hampir saban tahun setiap pulang kampung saya menyusuri jalan itu, sekedar mengenang masa kecil ketika orang tua saya mengajak melihat pesawat mendarat di lapangan terbang milik ExxonMobil di Desa Nibong, sekitar tujuh kilometer dari kampung kami. Lapangan terbang ini berada satu komplek dengan areal perkantoran ExxonMobil.
Tak banyak yang berubah di tempat itu. Toko-toko di Keudee Aron yang terpisah ruas jalan dengan Cluster I masih seperti dulu: berdinding papan. Pemandangan tak jauh beda juga terlihat di Cluster II di Nibong, Cluster III di Simpang Rangkaya, Tanah Luas, dan Cluster IV di Matangkuli.
Dulu, sekitar tahun 1990-an, di depan Cluster I ada sebuah lapangan tempat para pekerja divisi pemadam kebakaran berlatih. Saya ingat benar, dulu ada sebuah replika helikopter yang menghitam berdiri di sana. Helikopter palsu itulah yang dipakai untuk berlatih memadamkan api. Di sudut lapangan ada sebuah menara yang dipakai untuk memantau situasi.
Ketika saya datang sore itu awal September 2013, helikopter itu telah raib.Pagar kawat yang mengelilingi lapangan itu tidak ada lagi. Lokasi itu telah berganti menjadi tempat anak-anak muda desa bermain sepakbola.
Simpang Mulieng, kota kecil di pesisir timur juga tak banyak berubah. Sebagian besar toko-tokonya masih berkonstruksi kayu, bercampur dengan kedai beton yang muncul belakangan. Padahal, dari di kecamatan itulah ditemukan ladang gas alam terbesar di dunia pada tahun 1971. Tepatnya di Desa Aron yang berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat kota kecamatan. Dari sinilah gas alam dialirkan dengan pipa baja berukuran 42 inchi ke kilang pengolahan
di Blang Lancang milik PT Arun NGL. Nama yang ditabalkan pada perusahaan itu tak lain adalah nama desa Aron.
Yang berbeda hanya tingkat keramaian. Tak ada lagi lalu lalang kendaraan warna biru bertulisan MOI, singkatan dari Mobil Oil Indonesia sebelum berganti nama menjadi ExxonMobil.
Kondisi ini jauh berbeda dibanding pertengahan 1990-an. Dulu ladang gas ini dipenuhi kilau cahaya dari ribuan lampu yang terus menyala hingga pagi datang keesokan harinya.Ia laksana sebuah istana di negeri dongeng.
Ketika itu, ratusan kendaraan aneka jenis dengan kode nomor di pintu hilir mudik dari pagi hingga malam. Dulu, sekitar pukul 17.00 sore, jalan di sekitar ladang gas itu dipenuhi kendaraan yang mengantarkan pekerja yang memakai helm khas pekerja pertambangan dengan badge bertulisan Mobil Oil tergantung di saku baju. Saat itu usia saya masih belasan tahun.
Muhammad Ali, pria berusia 80 tahun yang membuka warung kopi di Simpang Mulieng, menyaksikan tahapan demi tahapan yang dilalui kota-kota kecil di sekitar ladang gas.
“Dulu orang-orang yang kerja di Exxon, orang-orang dari desa lain datang ke sini minum kopi dan membeli nasi. Masuk tahun 2000-an, ketika masih konflik bersenjata, orang-orang Exxon yang datang ke sini mulai berkurang,” kata Ali.
Maka topik perbincangan berikutnya adalah kenangan yang terlalu pahit untuk dikenang. Ketika konflik bersenjata memuncak sekitar tahun 1999 hingga 2003, kawasan sekitar ladang gas adalah salah satu rute pergerakan para gerilyawan dan tentara pemerintah. Letupan senjata yang diwarnai jatuhnya korban dari kedua pihak kerap terdengar. Tak jarang, masyarakat juga menjadi korban.
“Waktu itu posisi kami benar-benar terjepit,” kata Ali.
Konflik bersenjata yang dimaksud Ali adalah munculnya Gerakan Aceh Merdeka yang dimulai akhir 1976, lima tahun setelah ladang gas Aron ditemukan. Konflik politik ini berakhir pada 15 Agustus 2005, setelah pihak GAM dan Pemerintah Indonesia sepakat menandatangani perjanjian damai.
Sudirman adalah satu dari segelintir warga sekitar Exxon yang beruntung. Ia pernah merasakan gaji dari minyak dan gas bumi dari tanah bertuah di kampung kami. Selama 26 tahun ia bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran. Ketika pensiun pada 2008, ia berusia 56 tahun. “Dia mengambil paket pensiun dengan pesangon besar. Saya dengar mencapai Rp1,2 miliar,” kata seorang tokoh pemuda di kampung saya.
Sudirman tinggal di Gampong Moncrang, Syamtalira Aron, bertetangga dengan gampong saya.
Sudirman memulai karirnya di Mobil Oil tahun 1982 sebagai petugas satpam. Saat itu usianya masih 30 tahun. Setahun kemudian ia ikut tes penerimaan pegawai. Lulus. Sebelum mulai bekerja, ia menjalani pelatihan selama setahun di Medan. Pulang dari sana ia ditempatkan sebagai petugas pemadam kebakaran. Bersama 11 rekannya, ia masuk dalam tim yang dinamai Green. “Saat itu ada 4 kru. Saya kru Green One,” katanya ketika ditemui awal September lalu.
Pekerjaan itu dijalaninya sampai pensiun. Meski hanya seorang petugas pemadam kebakaran, Sudirman sangat bersyukur pernah bekerja di Mobil Oil yang belakangan berganti nama menjadi ExxonMobil.
“Iklim kerjanya bagus, enak. Gajinya mencukupi. Saya mengharapkan Exxon kembali jaya, namun itu tidak mungkin karena kandungan gas yang diproduksi terus menurun,” ujar kepada Zulfikar Husen dari The Atjeh.
Tugas sebagai pemadam kebakaran mengharus Sudirman bekerja dua shift: siang dan malam. Jika mendapat giliran masuk siang, pukul 06.30 pagi ia sudah berangkat dari rumah, menuju kantornya di Desa Nibong. Sedangkan untuk shift malam, ia sudah harus standby sejak pukul 6 sore.
Dua puluh enam tahun bekerja, Sudirman punya kenangan tak terlupakan. Ketika awal-awal bertugas, Cluster 3 mengalami Blowout: api keluar dari sumur gas dan tak bisa dikontrol.
Sudirman dan timnya bergerak cepat. Mereka harus menggali lubang dari sisi lain. Lewat lubang itu, mereka berusaha memadamkan api dengan resiko besar.
“Dengan susah payah kami akhirnya berhasil memadamkan apinya,” ujarnya.
Menjadi pegawai Mobil Oil adalah impian sebagian besar warga sekitar ladang gas. Namun, sedikit sekali yang berhasil menembusnya . Sudirman adalah satu-satunya warga Gampong Moncrang yang bekerja di sana. Itu sebabnya, ia bagai simbol kebanggaan warga desanya.
Ketika jumlah minyak dan gas kian merosot, Exxon mulai memberhentikan sebagian besar karyawan secara bertahap. Ini dimulai ketika krisis moneter menerpa Indonesia tahun 1998. Sudirman termasuk yang ditawarkan pilihan berhenti atau tetap bertahan. Bagi yang memilih berhenti tentu mendapat pesangon. “Tapi saya memilih terus bertahan,” ujarnya.
Dari hasil kerjanya, ayah 5 anak ini bisa menyekolahkan putra putrinya hingga ke perguruan tinggi. Empat diantaranya sudah bekerja. Sedangkan anak bungsunya masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Setelah pensiun dari Exxon, Sudirman kini menjadi petani, pekerjaan yang dilakoni sebagian besar warga di sekitar ladang gas. Dari gajinya, ia telah membeli beberapa hektare kebun sawit dan lahan sawah.
^^^
19 September 1978. Sebuah pesawat mendarat di lapangan terbang Malikussaleh, Lhokseumawe. Pagi itu, Presiden Soeharto terbang dari Jakarta meresmikan kilang gas Arun di Blang Lancang yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Lhokseumawe.
Kedatangan Soeharto berselang 7 tahun sejak cadangan gas alam ditemukan di Desa Aron pada akhir 1971. Pada 16 Maret 1974, PT Arun LNG resmi berdiri setelah mengekspor kondensat pertama ke Jepang pada 14 Oktober 1977.
“Dengan adanya proyek besar ini kita dapat beroleh manfaat ganda. Di samping makin bertambahnya sumber devisa negara, juga makin bertambahnya pengetahuan dan pengalaman tenaga-tenaga bangsa kita sendiri,” kata Soeharto dalam pidatonya seperti tertuang dalam buku Arun LNG Plant terbitan Pertamina.
Soeharto melanjutkan,"Dengan proyek ini juga terbukalah kesempatan kerja bagi para pemuda kita dan juga kesempatan usaha bagi masyarakat sekitarnya."
Di bagian akhir, Soeharto menekankan tentang betapa pentingnya temuan ladang gas Arun bagi Indonesia.
“Saya ucapkan selamat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Pertamina dan perusahaan-perusahaan patungannya Mobil Oil, Bechtel dan
lain-lainnya, yang telah berhasil menyelesaikan proyek besar yang
penting ini.”
Usai berpidato, Soeharto menekan tombol tanda dimulainya proyek LNG Arun. Di sampingnya berdiri Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto, Dirut Pertamina Piet Haryono, dan Gubernur Aceh kala itu, Majid Ibrahim.
Adegan itu terekam dalam sebuah foto yang dimuat dalam buku bertajuk “Kilang Pencairan Gas Alam Arun Diresmikan: Daerah istimewa Aceh Membangun.” Buku ini diterbitkan Departemen Penerangan Republik Indonesia tahun 1978.
Ladang gas Arun adalah yang kedua di Indonesia. Setahun sebelumnya, ditemukan ladang gas Bontang, Kalimantan Timur.
PT Arun dimiliki bersama oleh tiga pihak. Pertamina menguasai 55 persen saham, Mobil Oil Indonesia (kini menjadi ExxonMobil Oil) sebesar 30 persen, dan JILCO yang mewakili perusahaan pembeli dari Jepang sebanyak 15 persen.
Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto yang mendampingi Soeharto mengatakan, temuan gas alam Arun telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sama dengan Aljazair sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia saat itu.
“Prestasi ini sangat penting artinya dalam pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan nasional dalam sektor Pertambangan dan Energi yang diharapkan dapat meningkatkan sumber penerimaan negara yang sangat dibutuhkan dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional,” kata Soebroto dalam sambutannya.
Hari itu, Aceh resmi memasuki babak baru: era gas alam. Cadangan 17,1 triliun kaki kubik diperkirakan cukup untuk masa waktu 20 tahun. Penjualan perdana diteken pada 3 Desember 1973. Pembelinya adalah perusahaan Jepang: Chubu Electric, Osaka Gas, Kanzai Electric, Kyushu Electric, dan Nippon Steel untuk masa 20 tahun.
Untuk mengangkut gas ke Jepang, dipakai kapal LNG berkapasitas 125 ribu meter kubik. Masing-masing kapal mempunya 5 buah tangki berbentuk bola, yang dibuat khusus dan dikontrak oleh Pertamina dari Burma Gas Transport LTD selama 20 tahun. Untuk mengisi gas ke kapal ini dibutuhkan waktu 12 jam.
Pembangunan instalasi kilang dipercayakan kepada Bechtel, perusahaan kontraktor asal Inggris. Perusahaan ini dipilih karena berpengalaman dalam pembangunan kilang LNG di seluruh dunia.
Total tenaga kerja yang terserap diperkirakan mencapai 8.000 orang, sebagian besar adalah tenaga kerja asing.
Pembangunan mega proyek itu membutuhkan biaya US$ 940 juta. Ini termasuk untuk membangun fasilitas perumahan bagi para karyawan. Sumber dananya dipinjam dari Jepang sejumlah US$ 807,5 juta dan dari Bank Indonesia US$ 124,5 juta.
Tahap awal dibangun tiga train kilang pengolahan.
Per hari, 600 juta kaki kubik mengalir deras dari ladang gas di Desa Aron lewat pipa baja yang ditanam di tanah ke kilang pengolahan di Blang Lancang, Lhokseumawe. Jaraknya sekitar 32 kilometer.
Di sepanjang jalur pipa ini, Mobil Oil membangun fasilitas jalan aspal yang melintasi sejumlah kecamatan. Dimulai dari Nibong, jalan itu mengarah ke barat dan berakhir di kilang PT Arun.
Ketika saya menyusuri jalan ini pada sebuah pagi yang basah oleh gerimis, tak ada lagi lalu kendaraan bertulisan MOI (Mobil Oil Indonesia) seperti yang pernah saya saksikan belasan tahun silam. Hanya ada sejumlah truk pengangkut batu dan pasir berseliweran. Di kiri kanan jalan, sejumlah petani sedang memanen padi.
Di tepi ruas jalan itu bertebaran bangunan kecil seukuran 3 x 3 meter yang dipagari kawat berduri. Di bagian dindingnya ada tulisan,”Berbahaya! Bahan Beracun H2S.”
H2S adalah rumus kimia untuk Hydrogen Sulfide. Ini adalah jenis gas yang berbahaya dan mematikan jika terhirup. Baunya seperti telur busuk. Gas jenis ini memang timbul di industri pengolahan minyak, gas alam, pengolahan air limbah, maupun pabrik kertas. Jika terserap paru-paru, dalam konsentrasi tinggi gas ini bisa menyebabkan mual, muntah, kejang, hingga kematian.
Tapi orang-orang acuh saja dengan peringatan itu. Di Keude Krueng Tanjong Mesjid, Kecamatan Samudra, tiga bangunan kotak itu berdiri berdampingan dengan pasar. Sore itu, sejumlah pedagang durian menjajakan dagangannya persis di depan papan peringatan itu.
Bumi Aron adalah berkah bagi Indonesia. Dari tanah itulah pundi-pundi kas negara dipasok. Gas alam membawa material ikutan serupa harta karun yang melimpah: kondensat, juga sulfur biasa disebut belerang. Jika kondensat bisa diolah menjadi minyak siap pakai, belerang antara lain biasa dipakai untuk pabrik pupuk, racun serangga, dan bubuk mesiu.
Tapi seperti di banyak belahan bumi lain yang kaya sumberdaya alam, konflik tak terhindarkan. Di satu sisi pemerintah merasa kekayaan alam adalah milik negara. Namun di sisi lain, masyarakat menggugat,”ini tanah kami. Gas terus disedot selama puluhan tahun, tapi kami tetap hidup melarat.”
Dalam perjalanannya, tak bisa dipungkiri keberadaan ladang gas menjadi batu sandungan dalam hubungan Aceh – Jakarta. Konflik politik pecah. Meski mungkin bukan sebab utama, namun keberadaan Arun menjadi salah satu pemicunya.
Setahun sebelum Soeharto meresmikan PT Arun, dari lokasi persembunyiannya, pimpinan GAM Hasan Tiro memimpin sebuah rapat kabinet. Hari itu, 16 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan “memulai mengamankan sumberdaya alam Aceh.” Hasan menilai hanya dengan cara itu keuangan Indonesia dapat dilumpuhkan.
Peristiwa itu tercatat dalam buku The Price of Freedom yang berisi catatan harian Hasan Tiro ketika pulang ke Aceh sejak 4 September 1976.
Di halaman 110 Hasan Tiro menulis, “in a cabinet meeting today we decide that it is time to begin preparation to safeguard our natural resources. That are being increasingly plundered by the Javanese and their foreign cohorts, especially our oil and gas. They in fact, have made us pay for the cost of our own oppresssion and colonization by Javanese indonesia. Without the money they are making from the illegal sale of our oil and gas, the Javanese will never be able to finance their colonial war against us. Up to now we have done nothing about it...”
Hasan Tiro lantas mengutip laporan The Japan Economic Journal terbitan 21 Oktober 1975 yang menyebutkan ladang gas Arun di Aceh adalah yang sumber gas alam terbesar di dunia.
“The journal reported that Mobil Oil Corporation had made an offer to the Japanese to sell 37% of its concession of the Arun gas field at the price of US$450 millions. That “concession” no doubt was an illegal piece of paper signed by some Javanese general who has been bought by Mobil such it the game og legal fiction the multinationals –not just Mobil- are playing while making money on my country. We have an eerie feeling to know how we, Achehnese, who by all the laws in the world, are the legal owners of this land...”
Perasaan sebagai pemilik sah atas hasil kekayaan alam yang telah “diambil secara tidak sah” itulah yang membuat Hasan Tiro kemudian menyusun rencana untuk mengganggu kilang Arun.
Empat hari setelah rapat itu, pada 20 Oktober 1977, Hasan Tiro mendapat laporan dari Pasee (Aceh Utara) yang menyebutkan pasukannya telah merusak pembangkit listrik di dekat Lhokseumawe dan Arun. Namun, tak ada korban jiwa yang jatuh.
Serangan itu pun dilanjutkan dengan penyebaran brosur dalam bahasa Inggris yang meminta agar karyawan Mobil Oil dan Bechtel angkat kaki dari Aceh.
Seruan itu juga memuat karyawan Mobil dan Bechtel akan diundang kembali nantinya. “We will welcome all of you to return here again after the Javanese colonialist thieves have left. We genuinely regret to inconvenience you but our advice is for your best interes. We Achehnese ourselves are most inconvenienced of all, for it is our eminent domain that being raided by the Javanese, MOBIL and BECHTEL...”
Di bagian bawah seruan itu tertulis pihak yang mengeluar seruan,”NATIONAL LIBERATION FRONT OF ACHEH SUMATRA, October 1977.”
Namun ancaman itu tak membuat Jakarta surut. Untuk mengaman Arun, Soeharto menempuh jalan militer dengan mengerahkan tentara untuk menguber para gerilyawan. Tahun 1979, Hasan Tiro keluar dari Aceh, meneruskan misinya dari luar negeri.
Sementara di Aceh, isu ketidakadilan atas pembagian hasil gas alam terus mencuat. Penyebabnya, gemerincing dolar dari hasil penjualan gas hanya sedikit yang dikembalikan ke Aceh. Kondisi ini berlangsung hampir 30 tahun.
Karena itu, ungkapan seperti “tikus mati di lumbung padi” dan “buya krueng teudong-dong buya tamong meuraseuki” adalah lontaran bahasa yang kerap terdengar dalam perbincangan warga di warung-warung kopi. Artinya: masyarakat lokal tak mendapat apa-apa, sementara para pendatang menangguk rezeki.
Majalah Tempo dalam sebuah laporannya menulis, ”Hasil bumi yang dikeruk dari Aceh sungguh tak sepadan dengan dana dari pusat yang dikembalikan ke bumi Serambi Mekkah. Potensi gas alam Arun saja adalah yang terbesar di dunia. Tapi, menurut data 1997, anggaran pusat untuk Aceh hanyalah Rp 102 miliar atau hanya 0,05 persen dibandingkan dengan kekayaan alamnya.“
Kondisi itu membuat perlawanan kian membuncah.
Keberadaan ladang gas itu pernah dijadikan “propaganda” oleh pejuang GAM untuk mendulang dukungan. Seorang anak muda di kampung saya yang simpati dengan gerakan itu pernah berujar di warung-warung kopi. “Dari hasil gas nyan mantong, tanyoe tinggai wet-wet gaki, hana payah keurija. Ta eh-eh mantong ka sep peng (Dari hasil gas itu saja kita tinggal ongkang-ongkang kaki, tak perlu kerja. Tidur saja banyak duitnya).”
Ketika Hasan Tiro memutuskan berdamai dengan pemerintah Indonesia pada 2005, salah satu kesepakatannya adalah Aceh memperoleh bagi hasil migas 70 persen, sisanya untuk Jakarta.
Namun, kilang Arun telah di ambang senja. Zaman keemasannya telah lama berlalu. Puncak keemasan Arun terjadi tahun 1994. Ketika itu, ada 224 kapal gas alam cair yang dikirim ke luar negeri. Setelah itu, produksinya kian merosot.
Berapa rupiah yang dihasilkan dari pengapalan gas alam itu? Data ini tak pernah terpublikasi. Namun, pada 28 Agustus 2000, Pertamina dan Jepang menekan perjanjian jual beli Arun II Extension selama lima tahun (2000-2004) dengan nilai total US$ 1 miliar atau setara Rp9 triliun dengan kurs saat itu.
Ketika konflik bersenjata memuncak tahun 2001, ExxonMobil menghentikan pasokan gas untuk industri kimia di Lhokseumawe: Pupuk Iskandar Muda, Asean Aceh Fertilizer, dan Kertas Kraft Aceh. Ketika gas kembali dipasok, tiga pabrik itu tak sembuh total. Pupuk Iskandar Muda megap-megap. Sedangkan Asean Aceh Fertilizer dan Kertas Kraft Aceh mati total.
^^^
Tiga puluh lima tahun setelah Soeharto meresmikan kilang Arun, saya menginjakkan kaki di sana. Jumat sore itu di awal September itu, tak banyak pekerja yang lalu lalang.
Di depan pintu kantor utama yang oleh karyawannya disebut main office telah menunggu Teuku Eddy Safari Tiba. Lelaki asal Bireuen itu menjabat sebagai Public and Government Relations Supervisor yang bernaung di bawah divisi Humas yang dipimpin oleh Hendra Afiat.
Eddy lantas mengajak saya berkeliling melihat kondisi pabrik yang luasnya minta ampun. Kami menumpang mobil yang disupiri oleh Bukhari, pemuda Nisam yang sudah 10 tahun bekerja di sana.
Sebelum masuk ke areal pabrik, kami diperiksa menggunakan metal detektor. Pengamanan Arun memang ketat dan berlapis. Kami juga diminta menggunakan sepatu boot khusus jika hendak masuk ke areal pabrik.
Di sanalah berdiri bermacam fasilitas pengolahan gas alam cair. Pipa-pipa baja berukuran raksasa melintang di sana sini. Pabrik ini terletak di tepi pantai.
“Itu pipa untuk mengalirkan air laut yang dibutuhkan untuk proses pendinginan,” kata Eddy menjawab pertanyaan saya sambil menunjuk ke arah pipa besar yang lebarnya seukuran orang dewasa bertubuh gemuk.
Eddy paham benar fungsi bermacam fasilitas di kilang itu. Maklum, ia 20 tahun bekerja di pabrik sebelum akhirnya ditarik ke bagian Humas.
Ia dengan tangkas menjelaskan proses masuknya gas dari ladang di Desa Aron hingga menghasilkan gas alam cair (LNG), LPG, kondensat, dan belerang.
Di sana berdiri 6 train yang memproses gas alam menjadi dalam bentuk cair. “Sekarang yang beroperasi penuh hanya tinggal satu train. Satu lagi hanya beroperasi separuh dari kapasitasnya, sedangkan empat lainnya menganggur karena pasokan gas dari Exxon sudah jauh berkurang,” ujarnya.
Di kompleks kilang itu juga ada instalasi tanki-tanki raksasa menampung gas dan kondensat. Dari tanki-tanki itulah gas alam cair dimasukkan ke kapal tanker untuk dikirim ke pembeli.
Di sudut lain, ada lima menara berdiri menjulang. Dua di antaranya melontarkan lidah api yang meliuk-liuk seperti menjilat langit. Sementara tiga lainnya sudah lama padam. Itulah gas flare, saluran untuk membuang gas yang tidak berguna.
“Jika api itu telah padam semua, itu artinya kilang ini sudah berhenti total, tidak lagi berproduksi,” kata Eddy dengan nada suara setengah berbisik.
Jika pada 1994 ada 224 kapal gas alam yang dijual, ”tahun ini produksinya tinggal 14 kapal. Tahun 2014 kontrak penjualan LNG berakhir. Namun untuk penjualan kondensat masih ada hingga 2018,” tutur Eddy.
Arun memang telah diputuskan untuk difungsikan sebagai penampung gas yang diangkut dari luar. Istilah resminya: regasifikasi Arun. Namun, menurut Eddy, regasifikasi hanya memerlukan 6 persen dari total kapasitas yang dimiliki Arun. “Ibaratnya, regasifikasi ini seperti infus agar Arun tetap hidup,” ujarnya.
Itu sebabnya, manajemen Arun mengajukan opsi untuk mengalihfungsikan Arun dari kilang pengolahan gas alam cair menjadi kilang pengolahan bahan bakar minyak (BBM).
“Jika tidak, fasilitas aset yang mencapai Rp10 triliun ini akan sia-sia,” ujarnya.
Opsi itu telah disampaikan Direktur Utama PT Arun, Iqbal Hasan Saleh, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Aceh dan menginap di kompleks perumahan PT Arun, awal Juli lalu.
Jika usulan itu disetujui, kelak Arun akan menjadi kilang pengolahan minyak mentah menjadi produk bahan bakar seperti pertamax, solar, bensin, maupun minyak tanah.
Iqbal menawarkan kilang Arun lantaran pemerintah memang berencana membangun tiga kilang pengolah BBM di Sumatera, Jawa Timur, dan Kalimantan.
Meskipun salah satunya direncanakan di Sumatera, namun dalam perencanaan awal lokasi kilangnya bukan di PT Arun.
Iqbal menyodorkan PT Arun menjadi kilang BBM bukan tanpa alasan. Jika tidak dialihfungsikan, maka pada 2014 kilang Arun akan menjadi besi rongsokan.
Alasan lainnya, Aceh berada di jalur perairan internasional dan lokasi terdekat untuk memasok minyak mentah dari Timur Tengah. "Jika PT Arun dijadikan kilang BBM, maka tidak perlu lagi dilakukan proses pembersihan lahan, pembebasan lahan dan juga pengerukan pelabuhan. Semua fasilitas tersebut sudah dimiliki PT Arun," kata Iqbal.
Kepada wartawan, Iqbal mengatakan Presiden SBY memberi sinyal positif dan menjanjikan membawanya ke sidang kabinet.
"Presiden mendukung apa yang kami paparkan,” kata Iqbal.
Kepada saya, Eddy mengatakan keyakinannya Arun akan kembali berjaya jika opsi itu dipenuhi. “Peluang kerja bagi masyarakat sekitar akan terbuka lebar. Jika dijadikan sebagai kilang BBM, kejayaan Arun bisa kembali, bahkan melebihi sebelumnya,” ujarnya. “Bayangkan saja, kita membeli minyak mentah dari luar, lalu diolah di sini.”
Eddy tak menampik di masa lalu ada kesan Arun laksana istana khayalan yang sulit disentuh. Namun, kata dia, ”dulu uangnya langsung disetor ke Jakarta dan Arun adalan perusahaan non profit. Jika kilang BMM terwujud, uang akan lebih banyak berputar di sini.”
Dua bulan setelah pertemuan Iqbal dengan Presiden SBY, giliran Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang datang ke PT Arun. Pada 5 September lalu, Purnomo memboyong para pimpinan TNI dari berbagai kesatuan: Angkatan Darat, Laut, Udara, hingga pasukan elit Kopassus.
Kepada wartawan, Purnomo menjelaskan maksud kedatangannya: menjajaki kemungkinan memakai sebagian aset PT Arun untuk kepentingan TNI.
Rencana itu muncul karena pemerintah ingin memindahkan pangkalan militer dari Pekanbaru ke Aceh. Termasuk memboyong skadron pesawat tempur dari Hawk 100/200.
Dalam istilah militernya, Kementerian Pertahanan ingin membangun Komando Gabungan Wilayah di Aceh. Jika terwujud, ini adalah tempat seluruh angkatan TNI bergabung. Tujuannya, kata Purnomo, untuk mengamankan perbatasan, terutama lalu lintas perairan selat malaka yang merupakan jalur perairan tersibuk dan dilintasi kapal-kapal lintas negara.
Purnomo tahu benar kilang Arun akan dimanfaatkan sebagai tempat penampungan gas dan mulai beroperasi tahun depan. Hanya saja, kata dia, jika proyek itu selesai, kapasitas yang terpakai hanya 6 persen dari total aset Arun. “Tapi ini kita belum putuskan, nanti dibicarakan lagi di Jakarta,” kata Purnomo.
Ihwal keberadaan TNI di kompleks Arun sebenarnya bukan hal baru. Ketika Aceh masih dilanda konflik bersenjata, kamp Rancong yang bersebelahan dengan kilang Arun menjadi salah satu momok menakutkan bagi masyarakat setempat. Tak sedikit orang yang dicurigai sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibawa ke tempat ini. Bagi sebagian besar masyarakat Aceh Utara, itu sudah menjadi rahasia umum.
Ketika mengunjungi kilang Arun, saya sempat melintas di sana. Lokasinya di tepi pantai. Di mulut gerbang, ada sebuah pos bertulisan “Pos Marinir.” Dari warga yang melintas di sana saya tahu ternyata tempat itu telah dijadikan tempat markas Angkatan Laut.
Saya sempat menanyakan hal ini kepada Eddy Saputra ketika membawa saya keliling kilang. Kata Eddy, lahan yang dipakai untuk pos Rancong itu milik pemerintah. “Selebihnya saya tidak tahu banyak,” katanya.
Direktur Arun Iqbal tetap yakin dengan sinyal positif yang diperlihatkan Presiden SBY ketika mereka bertemu awal Juli lalu. Lagi pula, Menko Perekonomian Hatta Radjasa telah datang ke Arun tak lama setelah SBY pulang ke Jakarta. “Presiden sangat apresiasif untuk pengalihan fungsi kilang Arun jadi kilang BBM. Masalah ini akan dibawa ke sidang kabinet,” kata Iqbal menegaskan.
Dukungan terhadap pengalihan Arun menjadi kilang BBM juga datang dari sejumlah tokoh di Lhokseumawe: dari Dewan Perwakilan Rakyat hingga akademisi. Mereka sepakat alih fungsi kilang Arun menjadi kilang BBM akan mampu membangkitkan perekonomian.
“Jangan sampai kilang Arun menjadi besi tua, itu tidak boleh terjadi,” kata Yusuf Muhammad, anggota DPRK Lhokseumawe.
Harapan serupa juga datang dari warga sekitar Arun. Yuliadi, Ketua Pemuda Desa Blang Panyang, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, berharap benar rencana itu dapat terwujud. “Keberadaan kilang BBM tentu memberi dampak ekonomi, tidak hanya bagi masyarakat sekitar Lhokseumawe, tapi juga Aceh secara keseluruhan.”
Di Desa Moncrang, Sudirman, pensiunan pemadam kebakaran ExxonMobil juga menyimpan harapan serupa.
“Saya berharap, Exxon dan Arun nantinya dapat dimanfaatkan untuk hal lain. Sehingga putra-putra daerah bisa mendapatkan pekerjaan di situ,” katanya.
Sore itu, saya meninggalkan kilang Arun dengan sebuah tanda tanya: kemana Arun akan dibawa setelah triliun duit dialirkan ke kas negara?
Arun memang tak sepenuhnya mampu membebaskan masyarakat sekitar dari kemiskinan. Namun, menjadikannya sebagai pangkalan militer? Ah, tiba-tiba saja kepala saya terasa berdenyut. Teramat berdenyut.[]
TAMAT
CATATAN:
Artikel ini dimuat di majalah The Atjeh edisi Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar